Perang, dalam logika wahyu, bukanlah sekadar peristiwa sementara yang diukur dengan besarnya kehancuran atau lamanya waktu. Ia adalah cermin yang menyingkap keadaan hati, sekaligus timbangan tempat umat diuji sesuai kadar kejujuran dan keimanan mereka. Apa yang tampak bagi manusia sebagai peperangan yang berlarut, pada hakikatnya adalah tarbiyah Ilahi—proses penyucian dan penyiapan generasi yang tidak akan terkalahkan, karena mereka ditempa langsung di bawah pengawasan Allah dan di madrasah ujian.

Ketika menelusuri sunnah Al-Qur’an, kita akan memahami bahwa padamnya api peperangan tidak bergantung pada hitungan senjata semata, tetapi pada kejernihan panji yang dikibarkan, pada kadar ketakwaan yang nyata, pada terwujudnya al-walā’ wa al-barā’, pada tegaknya syariat, serta pada hidupnya amar ma‘ruf nahi munkar. Sejauh mana semua itu diwujudkan dalam barisan kaum beriman, sejauh itu pula janji Allah menampakkan diri: “Setiap kali mereka menyalakan api peperangan, Allah memadamkannya.”

Maka, berlarutnya perang bukanlah penafian janji Allah, melainkan isyarat atas adanya kekurangan dalam barisan kita, dan pesan Ilahi yang menegur kelemahan agar kita kembali kepada inti agama, hingga syarat-syarat kemenangan itu terpenuhi. Di sinilah hikmah itu bersemayam: bahwa perang, pada lahiriahnya adalah ujian berdarah, namun pada batinnya ia adalah pendakian ruhani, yang mengangkat derajat kaum beriman dan membuka jalan menuju kemenangan yang dijanjikan.